
Perjuangan Seorang Wanita Tunawisma – Di sebuah sudut kota yang semakin ramai dengan gedung-gedung pencakar langit, seorang wanita bernama Sari berdiri memandang rumah tua yang kini tak lagi menjadi miliknya. Rumah itu bukan sekadar bangunan bagi Sari, tetapi tempat di mana ia membangun keluarga, membesarkan anak-anaknya, dan menciptakan kenangan yang tak ternilai harganya. Kini, ia harus mengucapkan selamat tinggal.
Sari dulunya adalah seorang ibu rumah tangga yang hidup sederhana namun bahagia. Suaminya bekerja sebagai buruh bangunan, sementara ia mengurus rumah dan anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Rumah kecil yang terletak di pinggiran kota itu adalah saksi bisu tumbuh kembang anak-anaknya—dari tawa riang mereka saat bermain di halaman hingga tangisan mereka saat jatuh dan terluka. Bagi Sari, rumah ini adalah bagian dari dirinya sendiri.
Namun, kehidupan tidak selalu berpihak padanya. Setelah suaminya meninggal karena kecelakaan kerja, Sari berjuang sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Ia bekerja serabutan, dari menjadi asisten rumah tangga hingga berjualan kecil-kecilan di pasar. Meski begitu, biaya hidup yang terus meningkat membuatnya semakin terpuruk. Ketika pandemi melanda, ia kehilangan penghasilannya yang tidak seberapa, sementara utang terus menumpuk. Pada akhirnya, ia harus merelakan rumahnya dijual untuk membayar hutang dan bertahan hidup.
Kini, tanpa tempat tinggal, Sari terpaksa hidup di jalanan. Ia membawa serta beberapa barang berharga yang masih bisa ia selamatkan—foto-foto lama, selimut usang yang mengingatkannya pada pelukan hangat suaminya, dan sebuah boneka yang dulu menjadi favorit anak bungsunya. Setiap hari, ia berusaha mencari tempat yang aman untuk tidur, kadang di bawah jembatan atau di sudut trotoar yang sepi. Hujan dan panas menjadi bagian dari kesehariannya, sementara ketidakpastian terus menghantui pikirannya.
Perjuangan Seorang Wanita Tunawisma Untuk Mengucapkan Selamat Tinggal
Meskipun begitu, yang paling menyakitkan bagi Sari bukanlah ketidaknyamanan hidup di jalanan, tetapi perasaan kehilangan. Setiap kali melewati rumah lamanya, ia merasakan luka yang semakin dalam. Ia membayangkan suara anak-anaknya yang dulu memenuhi rumah itu, aroma masakan sederhana yang ia buat dengan penuh cinta, dan kehangatan yang kini tinggal kenangan. Namun, kenyataan berkata lain—rumah itu kini milik orang lain, dan ia tidak lagi memiliki tempat untuk pulang.
Di tengah keputusasaan, Sari menemukan secercah harapan dalam kebaikan orang-orang di sekitarnya. Beberapa relawan dari organisasi sosial sering memberinya makanan dan pakaian, sementara warga setempat kadang menyapa dan menanyakan kabarnya. Meskipun bantuan tersebut tidak banyak, kehadiran mereka memberinya kekuatan untuk terus bertahan.
Namun, yang paling menguatkan hatinya adalah anak-anaknya. Meski mereka kini tinggal berjauhan, mereka selalu mencoba menghubunginya, mengingatkannya bahwa ia tidak sendirian. Putri sulungnya yang telah bekerja keras berjanji akan mengusahakan tempat tinggal untuk mereka kembali suatu hari nanti. Janji itu menjadi pijakan bagi Sari untuk terus berjuang, meskipun hari-hari yang ia jalani masih penuh ketidakpastian.
Sari mungkin telah kehilangan rumahnya, tetapi ia tidak kehilangan harapan. Setiap langkah yang ia ambil di jalanan adalah pengingat bahwa hidup terus berjalan. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan tempat di mana ia bisa merasa aman dan nyaman kembali. Dan hingga saat itu tiba, ia akan terus berjuang, seperti yang selalu ia lakukan sepanjang hidupnya.