
Pada Desember 2024, rakyat Georgia memilih Mikheil Kavelashvili, mantan pemain sepak bola profesional, sebagai presiden baru. Namun, proses pemilihan ini menimbulkan kontroversi karena hanya menampilkan satu kandidat dari partai penguasa, Georgian Dream. Akibatnya, gelombang protes besar pecah di ibu kota Tbilisi, dengan ribuan demonstran mengekspresikan penolakan terhadap hasil pemilu.
Sebagai simbol perlawanan, para demonstran mengibarkan kartu merah untuk menandakan penolakan terhadap Kavelashvili, yang dikenal berpandangan pro-Rusia. Selain itu, mereka membawa bola sepak untuk menyindir latar belakangnya sebagai atlet, sementara beberapa lainnya menunjukkan ijazah universitas guna menegaskan kurangnya kualifikasi akademik presiden terpilih.
Di sisi lain, presiden petahana Salome Zourabichvili menolak mengakui legitimasi Kavelashvili. Bahkan, ia menyatakan diri sebagai satu-satunya pemimpin sah Georgia dan bergabung dengan demonstran pro-Uni Eropa yang menentang kebijakan pemerintah.
Georgia Mengecam Presiden Baru Mikheil Kavelashvili
Lebih lanjut, kemarahan publik semakin memanas setelah pemerintah memutuskan menunda pembicaraan keanggotaan Uni Eropa hingga 2028. Padahal, mayoritas rakyat Georgia justru mendukung integrasi dengan Barat. Tidak hanya itu, tuduhan manipulasi dalam pemilu parlemen Oktober 2024—yang dimenangkan Georgian Dream dengan dugaan campur tangan Rusia—turut memperuncing ketegangan politik.
Menanggapi aksi protes, pemerintah memberlakukan sanksi lebih keras terhadap kegiatan demonstrasi, termasuk menaikkan denda dan melarang penutup wajah. Sayangnya, langkah ini justru menuai kritik karena dianggap membungkam kebebasan berekspresi.
Secara keseluruhan, terpilihnya Mikheil Kavelashvili menjadi titik balik politik Georgia. Mulai dari kontroversi pemilu, penundaan integrasi Eropa, hingga kecurigaan terhadap pengaruh Rusia, semua ini memicu ketegangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Melalui simbol-simbol kreatif seperti kartu merah dan bola sepak, rakyat Georgia menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap semakin menjauhi Barat dan mendekat ke Rusia. Dengan demikian, situasi ini mempertegas jurang antara aspirasi pro-Barat masyarakat dan kebijakan rezim yang berkuasa.