
30 Negara Akan Berpartisipasi – Pada 11 Maret 2025, lebih dari 30 negara berkumpul di Paris untuk membahas pembentukan pasukan keamanan internasional yang akan menjaga stabilitas Ukraina pasca-konflik. Prancis dan Inggris memimpin pertemuan ini dengan tujuan utama mencegah serangan Rusia setelah tercapainya gencatan senjata antara Moskow dan Kyiv.
Partisipasi Negara-Negara Eropa dan Asia
Pertemuan ini dihadiri oleh pejabat militer dari berbagai negara Eropa, termasuk anggota NATO dan Uni Eropa, serta negara-negara non-NATO seperti Irlandia, Siprus, dan Austria. Negara-negara Persemakmuran, seperti Australia dan Selandia Baru, serta Jepang dan Korea Selatan, juga berpartisipasi secara virtual. Ukraina mengirimkan seorang pejabat militer yang juga anggota dewan keamanan dan pertahanan negara tersebut.
Tanggapan Terhadap Pendekatan Amerika Serikat
Inisiatif ini muncul sebagai tanggapan terhadap upaya Amerika Serikat memperbaiki hubungan dengan Rusia. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara Eropa tentang keamanan Ukraina. Presiden AS, Donald Trump, melakukan pendekatan diplomatik dengan Rusia dan mendorong negara-negara Eropa untuk berperan lebih aktif dalam menjamin keamanan Ukraina.
Rencana Pasukan Keamanan
Prancis dan Inggris mengusulkan pembentukan pasukan yang dilengkapi dengan persenjataan berat serta persediaan yang siap dikerahkan jika diperlukan. Pasukan ini bertujuan mencegah Rusia melancarkan serangan baru setelah gencatan senjata tercapai. Pertemuan di Paris terdiri dari dua sesi: presentasi cetak biru Prancis-Inggris dan diskusi rinci tentang kontribusi masing-masing negara.
30 Negara Akan Berpartisipasi Dalam Perundingan Perencanaan Paris
Amerika Serikat tidak diundang dalam pertemuan ini sebagai sinyal bahwa negara-negara Eropa bertekad mengambil tanggung jawab lebih besar dalam keamanan pasca-gencatan senjata Ukraina. Langkah ini menunjukkan keinginan Eropa untuk menunjukkan kemandirian dalam menangani isu-isu keamanan regional.
Kesiapan Inggris dalam Penempatan Pasukan
Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyatakan kesiapan Inggris untuk menempatkan pasukan penjaga perdamaian di Ukraina. Ia menegaskan bahwa Eropa menghadapi “momen sekali dalam satu generasi” untuk keamanan kolektif benua tersebut. Starmer menekankan bahwa akhir dari konflik ini harus memastikan Rusia tidak akan melancarkan serangan lagi di masa depan.
Tantangan dalam Pengerahan Pasukan
Laporan menunjukkan bahwa Inggris dan Prancis sedang menyusun rencana untuk mengerahkan hingga 30.000 pasukan penjaga perdamaian di Ukraina, tergantung pada tercapainya gencatan senjata antara Moskow dan Kyiv. Rencana ini juga bergantung pada dukungan Amerika Serikat, terutama dalam hal pertahanan udara, logistik, dan intelijen.
Namun, rencana pengerahan pasukan ini menghadapi tantangan, terutama terkait dengan dukungan dari Amerika Serikat. Meskipun Inggris dan Prancis siap memimpin koalisi, keberhasilan misi ini sangat bergantung pada komitmen dan dukungan logistik dari Washington. Tanpa dukungan tersebut, implementasi rencana ini bisa terhambat.
Partisipasi Negara-Negara Eropa Lainnya
Selain itu, beberapa negara Eropa lainnya menunjukkan minat untuk berkontribusi pada pasukan penjaga perdamaian pascaperang di Ukraina. Misalnya, Swedia mempertimbangkan untuk berkontribusi dalam pasukan tersebut, menunjukkan bahwa negara-negara Eropa semakin menyadari perlunya peran yang lebih besar dalam menjamin keamanan Ukraina.
Kerja Sama Uni Eropa dan NATO
Pertemuan di Paris ini juga menekankan pentingnya kerja sama erat antara Uni Eropa dan NATO dalam menjamin keamanan Ukraina. Para pejabat menekankan bahwa jaminan keamanan yang diberikan harus kredibel, jangka panjang, dan didasarkan pada kemampuan NATO, serta mendukung angkatan bersenjata Ukraina.
Kesimpulan: Tekad Eropa dalam Menjamin Keamanan Ukraina
Secara keseluruhan, pertemuan di Paris mencerminkan tekad negara-negara Eropa untuk mengambil peran lebih aktif dalam menjamin keamanan Ukraina. Dengan membentuk pasukan keamanan internasional, mereka berharap dapat mencegah agresi lebih lanjut dari Rusia dan memastikan stabilitas di wilayah tersebut. Keberhasilan inisiatif ini akan sangat bergantung pada dukungan dan kerja sama dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, serta kemampuan mengatasi tantangan logistik dan operasional yang mungkin muncul dalam implementasinya.